Dalam
perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik
Indonesia mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi poliltik sesuai
dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung
di balik legitimasi ideology Negara Pancasila.Dengan kata lain Pancasila tidak
lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa dan Negara Indonesia.
Berdasarkan
kenyataan tersebut diatas gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan
kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar Negara Republik Indonesia
yang direalisasikan dalam TAP SI MPR No. XVIII/MPR/1998 disertai dengan
pencabutan P-4 dan sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya
azas bagi Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL) di Indonesia.
Pancasila
merupakan pandangan hidup dan falsafah bangsa Indonesia yang mana dahulu pernah
akan digantikan keberadaannya dari hati sanubari rakyat Indonesia oleh paham
ideology lain. Pancasila adalah pandangan hidup yang ber-Ketuhanan Maha Esa
yang artinya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan tujan yang wajib percaya dan
menyembah-NYA. Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, persatuan,
kesatuan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pancasila bersifat
akomodatif dan menganut system pemerintahan demokrasi berdasarkan kebijaksanaan
musyawarah dan mufakat. Pancasila diamalkan melalui pembangunan nasional dalam
empat bidang politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan. Dengan
mendalami nilai-nilai luhur Pancasila tentu kita sadar dan yakin akan
keunggulan Pancasila.
Hal-hal
tersebut diatas merupakan modal utama untuk menangkal bahaya laten komunisme
ataupun laten-laten yang lain. Cara pandang masyarakat mengenai Pancasila mulai
masa Orde Baru sampai Orde Reformasi mengalami perkembangan persepsi yang
berbeda. Masa Orde Baru dimana penerapan Pancasila dilaksanakan secara
konsisten dan terarah walaupun masih banyak penyimpangannya. Dari dulu hingga
sekarang kita kenal dengan Wawasan Nusantara yang artinya cara
pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungan nya kini lambat laun
pudar dan hampir-hampir siswa sekolah kurang mengerti akan hal ini, itu
merupakan salah satu contoh kemunduran dari penerapan dari nilai-nilai
Pancasila. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang biasa kita kenal
dengan P4 mungkin merupakan salah satu contoh upaya pemerintah dalam menanamkan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tapi pada masa reformasi
nilai-nilai tersebut mulai pudar dan hilang dalam pandangan masyarakat
Indonesia. Pada masa reformasi penghayatan dan pengamalan Pancasila rupanya
mulai hilang dari benak warga Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa merupakan
salah satu contoh kurangnya pemahaman terhadap nilai luhur Pancasila. Toleransi
beragama pun juga mengalami pengapuran. Jadi bila dibandingkan dengan masa
reformasi penerapan nilai-nilai luhur Pancasila lebih baik pada masa orde baru
yang pelaksanaannya dilakukan dengan konsisten serta tanggungjawab. Tapi
mengapa TAP MPR No. 2 tahun 1978 di cabut tanpa harus ada formula penggantinya?
Banyak sekali permasalahan yang harus kita sikapi dengan cermat mengenai
perlunya kita memahami Pancasila dan bagaimana menjalankannya secara murni dan
konsekuen ?
PANCASILA
dan PERMASALAHANNYA
Isu SARA
Realitas
budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan komunitas etnis yang hidup
di atas pulau atau gugusan pulau yang dipisahkan oleh lautan menunjukkan
berbagai macam perbedaan. Perbedaan peta geografis dan etnis-kultural inilah
yang berpotensi sebagai sumber dari berbagai jenis konflik yang timbul secara
alamiah atau yang dengan sengaja direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik
ditimbulkan, antara lain, oleh isu SARA dan oleh adanya ketegangan antara
keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal pada satu sisi, dan
pada sisi lain lemahnya perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat seluruh
komunitas agar dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna
dalam ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri.
Secara alamiah timbul konflik pada sebagian komunitas nusantara yang ingin mempertahankan identitas komunalnya dalam konteks etnis-kultural, termasuk SARA, menghadapi nasionalisme melalui arus transformasi politik yang ingin membangun sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat bangsa dari seluruh komunitas nusantara yang hidup di dalam bekas wilayah jajahan Hindia Belanda yang heterogenik. Berdasarkan keinginan alamiah inilah pula, maka ada elite yang ingin daerahnya merdeka sebagai negara atau merdeka di dalam status negara federal setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional sebagai manifestasi dari kepentingan bersama.
Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang tidak dapat atau kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan.
Secara alamiah timbul konflik pada sebagian komunitas nusantara yang ingin mempertahankan identitas komunalnya dalam konteks etnis-kultural, termasuk SARA, menghadapi nasionalisme melalui arus transformasi politik yang ingin membangun sebuah masyarakat baru, yaitu masyarakat bangsa dari seluruh komunitas nusantara yang hidup di dalam bekas wilayah jajahan Hindia Belanda yang heterogenik. Berdasarkan keinginan alamiah inilah pula, maka ada elite yang ingin daerahnya merdeka sebagai negara atau merdeka di dalam status negara federal setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan nasional sebagai manifestasi dari kepentingan bersama.
Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang tidak dapat atau kurang dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan.
Pemadaman
pemberontakan terhadap gerakan separatis di sejumlah daerah, seperti RMS,
PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar di
Sulsel, dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak
menyelesaikan akar persoalan. Selama keadilan yang menjadi substansi utama yang
dapat merekat segenap masyarakat plural di atas bumi nusantara gagal
diwujudkan, selama itu potensi konflik akan tetap mengancam, termasuk ancaman
politik yang bernuansa separatisme.
Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun 50-an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang bermuatan isu separatisme.
Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun 50-an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang bermuatan isu separatisme.
Isu-isu SARA
yang saat ini sedang menjadi perbincangan di kalangan publik tentang maraknya
paham-paham sesat yang sangat meresahkan bahkan sampai kasus penistaan agama
yang dilakukan oleh salah satu ormas agama tertentu tehadap agama lain sangat
mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bila kita
bertolak dari dasar Negara kita yaitu Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Indonesia khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah
dijelaskan secara gamblang bahwa setiap warganegara Indonesia diwajibkan
memeluk agama yang telah ada untuk diyakini. Dalam pengertian inilah maka
Negara menegaskan dalam Pokok Pikiran ke – IV UUD 1945 bahwa “Negara
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab”. Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara
Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA khususnya
masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan
beragama yang tidak berkemanusiaan dan betapa melemahnya toleransi kehidupan
beragama yang berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila kita
mengerti dan memahami apa yang telah dijabarkan dalam butir-butir Pancasila
tentunya kasus-kasus konflik social yang menjurus pada SARA tentunya dapat kita
hindari. Dengan semangat saling menghormati perbedaan keyakinan, toleransi
beragama dan tenggang rasa tentu kita bisa mewujudkan suasana kehidupan yang
harmonis dan penuh kerukunan menuju Indonesia yang Merdeka seutuh-utuhnya.
Hak Asasi
Manusia (HAM)
Masalah HAM
menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad
kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa
sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional.
Menurut
konsiderans UU Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Disamping itu menurut UU No. 39 ttahun 1999 tersebut juga menentukan
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia
sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak Asasi ini menjadi dasar
daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Hak Asasi
tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan
hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain.
Menurut
sejarahnya asal mula hak asasi manusia ialah dari Eropa Barat yaitu
Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi manusia ialah pada
tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta. Perkembangan berikutnya
ialah adanya revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis
1789. Dua revolusi dalam abad ke XVIII ini besar sekali pengaruhnya
pada perkembangan hak asasi manusia.
Hak Asasi
Manusia yang kemudian disingkat HAM adalah permasalahan yang selama dua atau
tiga tahun terakhir menjadi bahan perbincangan masyarakat. Banyak contoh
kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM pada
saat pelaksanaan jajak pendapat Referendum Timor Timur. Kasus Daerah Operasi
Militer (DOM) di daerah Serambi Mekkah Aceh yang banyak menelan korban jiwa
dari pihak masyarakat sipil dan disinyalir banyak di lakukan oleh oknum-oknum
tentara yang notabene adalah para aparat-aparat Negara sampai dengan kasus
sengketa tanah yang melibatkan salah satu unsur alat pertahanan negara yaitu
tentara dalam hal ini Marinir dengan warga Alas Tlogo Pasuruan. Hal ini sangat
bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Banyak
tokoh yang dinyatakan sebagai tersangka tapi pada kenyataannya para pelaku
masih bebas berkeliaran sementara keluarga korban menanti kepastian hukum
tentang apa yang dialaminya. Tapi perlu kita ketahui sebenarnya kesalahan maupun
pelanggaran itu juga tidak sepenuhnya dilakukan oleh para oknum tentara.
Masyarakat sipil mempunyai hak untuk hidup tentara pun demikian. UU No. 39
tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia yaitu seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan
tegaknya hak asasi manusia. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar
1945 pasal 28i ayat 5 (amandemen ke 2) yang berbunyi “Untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang
demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan”. Pasal 28j ayat 1 dan 2 (amandemen
ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi manusia dan wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis. Jadi dalam masalah ini kita perlu secara cermat
menanggapi kasus-kasus seperti ini karena permasalahan yang demikian sangatlah
kompleks dan sangat rentan terhadap perpecahan atau ancaman diintegrasi bangsa.
Hak Asasi
Manusia: Makna dan Historisitas.
Dari
membandingkan beberapa definisi tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu
nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat
memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya.[i]
Hak itu mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara
tentang hak manakala ia mempunyai tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain.
Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil membicarakan tanpa secara langsung
mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak lain.
Dari
sejumlah hak-hak manusia itu ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi
terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah manusia
secara keseluruhan, tanpa membedakan status, suku, adat istiadat, agama, ras,
atau warna kulit, bahkan tanpa mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan
tempat. Dengan demikian, hak asasi manusia haruslah sedemikian penting,
mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Kesadaran
akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi
sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang
mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat
diketahui dalam sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua
lapisan besar : lapisan atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan
bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban,
sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang oleh lapisan atas. Kesadaran itu
memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM, menurut catatan sejarah
HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam
sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan
keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan
Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun
1628, Habeas Corpus Act tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun 1689
serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen tahun 1789 di Prancis.[ii]
Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian
Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat
tahun 1789.
Setelah
berakhirnya perang dunia I dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM
internasional : Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10
Desember 1948, dan disusul dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun
1966 dan Covenant on Economic, Social and Cultur Rights tahun 1966 dan
Optional Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966.
Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The International
Bill Of Human Rights.
Dokumen-dokumen
tersebut merupakan instrumen normatif HAM internasional yang harus dihormati
dan dipatuhi oleh setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on Civil
and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat
diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya
hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati.
Adanya
pengakuan dan perlindungan kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut
menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar
negara. HAM yang dulu lebih merupakan urusan dalam negri masing-masing negara
telah bergeser menjadi nilai dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan
dengan adanya persetujuan semua negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota
PBB terhadap deklarasi, konvensi dan konvenan HAM internasional.
Deklarasi
PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori:
Hak sipil
dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk
hidup (pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak
untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam
penyelesain tertib sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak,
mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal
13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas
berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan
berserikat (pasal 20-21).
Hak eknomi
dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah
yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan
periodik dengan (tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang
cukup, termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan
sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam
kegiatan kebudayaan.
Dan hak
kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua
ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak
masyarakat untuk bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).
Hak-hak
asasi manusia di atas, walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa
dari pelbagai penjuru dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah
pemikiran dan anak peradaban barat.
Pengaturan
HAM di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan,
khususnya dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta
peraturan perundangan lain diluar UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan
dengan proses peradilan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya.
Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No.
II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam
Bidang Pembangunan Hukum yang menyatakan bahwa :
"HAM
sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia dan Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk
agama dan beribadat menurut agama masing-masing, hak untuk berkeluarga dan
memperoleh keturunan melalui perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri
termasuk memperoleh pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak
memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan
rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul."
Dari latar
historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap
kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina
atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis tentang struktur
deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang melahirkannya,
dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat
HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa
manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat
atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif
antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.
Hak dapat
dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi
dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan
mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia
sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak
pemenuhannya.
Setelah
melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak
10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi
Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang
untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau
negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu,
deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat
hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris.
Dalam hal
pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam Pancasila yang perlu mendapat perhatian
kita adalah bahwa disamping hak-hak asasi, wajib-wajib asasi harus kita penuhi
terlebih dahulu dengan penuh rasa tanggungjawab. Hak-hak asasi manusia
dilaksanakan dalam rangka hak-hak serta kewajiban warga Negara.
Krisis
Ekonomi
TAHUN 1998
menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya berlangsung sangat
tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah perekonomian
Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat black
Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929.
Hanya dalam
waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai dalam
dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua
bayangan indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama
periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama
tahun 1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai
dirasakan secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter
Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak
bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti
lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia
bahkan tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti efek
bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di
Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis
ekonomi, berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya,
dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh
sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak
goyah. Bahkan kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya
dia tinggalkan. Mungkin Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi
baht, yang menjadi pemicu semua itu.
Efek bola
salju
Faktor yang
mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat kepercayaan
masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki tahun
1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah
dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh
tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana
alam La Nina yang membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari total
utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar
72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di
mana sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara
pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya
kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar
AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS
pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang
tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang
melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang,
juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6
Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang
membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke
semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan
pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat
internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot
ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Puluhan,
bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal
juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang
paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,
sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an,
yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK
dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.
Sementara si kaya sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar
biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Pendapatan
per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita
tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga
penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi
sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan
Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan
positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir
1997, terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I
1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian
pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi
Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar
modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke
titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal
krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226
trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar
uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8
persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998
(dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis),
menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative
spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor
riil.
Di sisi
lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis,
ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi
rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan
trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama
periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan
periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis
kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak
mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi
lain, sektor fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam
tekanan akibat surutnya penerimaan.
Situasi yang
terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan arah dan
orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat
menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board
System) di depan MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama
sekali tanggal 20 Maret, karena memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat
memunculkan ketegangan dengan IMF, dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya
rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF, membuat dukungan
IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent
ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat
menghilangkan berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang
berkelanjutan.
Bahkan
memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi beringas.
Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di
tengah harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah
menjadi aksi protes, kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai
wilayah lain, yang menuntun ke tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi
berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai 20
milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya
jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan
ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.
Munculnya
pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan
manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan
kondisi ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus
berlangsung hingga kuartal kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita
telah menyaksikan episode terburuk perekonomian sepanjang tahun 1998.
Pemulihan
Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
PELAKSANAAN
agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi sebagian
besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih.
Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat
dilaksanakan, maka pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana
Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi yang
kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara
kemungkinan terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor
bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta
demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa
dipercaya rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan
pulih, karena investor pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh karena
itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu
berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar
dilaksanakan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran
modal asing sebagai jalan terbaik dalam pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi
kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat, adanya kepastian hukum dan
sistem peradilan yang independen.
Suksesnya
pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja.
Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk,
mengingat intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang
membuat masyarakat merasa tidak aman masih sering terjadi.
MELIHAT
pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional
sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang
terlibat menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi
rakyat.
Kita
sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat.
Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya
mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional
juga harus berani mengakui pemerintahan yang sekarang.
Selain
masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat
penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar
yang harus diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama,
restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan
besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan
penutupan bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya
tinggal sedikit bank yang kuat dan profesional.
Sebelum
mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila
persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi,
karena tidak ada kodal kerja dan perdagangan.
Kedua,
masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang LN
ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia
internasional terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut.
Bila default, maka kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke
Indonesia.
Ketua Umum
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani mengatakan, sebagai
pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di lapangan
terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan
gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup
tinggi, apalagi nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh karena
itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu. Investasi
tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan
penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar
domestik, tetapi luar negeri.
Kalau
penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru, maka
ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi
gejolak sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi perekonomian
nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di tengah
"kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red)
menyebabkan pengendara (baca: pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan.
Atas dasar pertimbangan keselamatan, maka pengendara itu tidak punya pilihan
lain kecuali menghentikan perjalanannya dan menunggu sampai kabut itu berlalu.
Itu berarti,
pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan ekonomi dan
politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan.
Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.
Sistem
ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat “birokrat otortarian”
yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat
keputusan-keputusan nasional hamper sepenuhnya berada di tangan penguasa
bekerjasama dengan kelompok militer dan kaum teknokrat.
Kebijaksanaan
ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada pertumbuhan dan
mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam
kenyataannnya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan
pengusaha. Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia
mengakibatkan ekonomi Indonesia terpuruk sehingga kepailitan yang diderita oleh
para pengusaha harus di tanggung oleh rakyat.
Dalam
kenyataannnya sector ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis dewasa
ini adalah ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis
pada ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan
kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut : “Keamanan pangan dan
mengembalikan kepercayaan yaitu dilakukan dengan program “social safety net”
yang lebih dikenal dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Untuk
mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah maka pemerintah harus
secara konsisten menghapus KKN serta mengadili oknum-oknum yang melakukan
pelanggaran. Ini akan memberikan kepercayaan dan kepastian usaha”.
Kesimpulan
Peristiwa 1
Juni di Monas Ujian Bagi Pancasila
Peristiwa
penyerangan FPI atas sekelompok massa sesama bangsa Indonesia,yang dianggap
musuh oleh FPI, jelas merupakan kejadian yang bermakna ganda. Bukan kebetulan
bahwa FPI memilih hari lahir Pancasila 1 Juni, sebagai saat untuk bikin ulah
sekaligus unjuk kekuatan. Kejadian tersebut sekaligus ujian bagi pemerintah dan
aparatnya, apakah betul Pancasila masih menjadi Dasar Negara.
Kejadian
tersebut jelas-jelas mencederai nilai-nilai luhur yang dicanangkan pendiri
bangsa.
Sila ke-1, Ketuhanan
yang Maha Esa. Mereka yang menyerang kelompok lain mengatasnamakan agama
sebagai alasan untuk menganiaya sesama manusia. Benarkah itu? Saya yakin tidak
ada satu agama pun yang melegalkan penganiayaan terhadap sesama demi nama-Nya.
Tuhan Maha Besar tidak butuh campur tangan manusia untuk membela nama-Nya.
Sila ke-2, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab. Jelas, tindakan FPI melampaui batas kewajaran.
Seolah-olah mereka adalah kelompok yang tak berperikemanusiaan.
Sila ke-3, Persatuan
Indonesia. Menyadari bangsa ini terdiri dari berbagai unsur maka sila ini
menjadi sangat relevan untuk mengajak seluruh elemen bangsa yang berbeda untuk
bersatu demi negara Indonesia. Bukannya gontok-gontokan sesama bangsa.
Sila ke-4, Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dalam
sila ini ingin mengajak bangsa Indonesia mengedepankan musyawarah. Bukan adu
otot dalam menyelesaikan perbedaan.
Sila ke-5, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,
bukan hanya sekelompok orang. Bagaimana bisa adil, jika kita selalu mau menang
sendiri. Mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Saat ini,
adalah waktu yang tepat buat kita semua untuk melihat kembali implementasi
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wahai pemimpin negara.
Apakah Pancasila masih menjadi Dasar Negara Indonesia?
Kondisi
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dewasa ini serta penyimpangan
implementasi Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan
gerakan reformasi di Indonesia sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup
besar dalam berbagai bidang terutama bidang kenegaraan, hukum maupun politik.
Maka dari itu sebagai warganegara yang baik sebaiknya kita tahu beberapa
hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam penegakan hak asasi manusia kita sebagai mahasiswa harus bersifat
objektif dan benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat
manusia bukan karena kepentingan politik.
2. Perlu disadari bahwa dalam penegakan hak asasi manusia tersebut pelanggaran
hak asasi manusia dapat dilakukan seseorang, kelompok orang termasuk aparat
Negara, penguasa Negara baik disengaja ataupun tidak (UU No. 39 tahun 1999).
3. Sistem ekonomi harus berdasarkan pada nilai dan upaya terwujudnya
kesejahteraan seluruh bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh
sebagian besar rakyat sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
4. Kehidupan beragama dalam Negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan
kearah terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai
berdasarkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
5. Rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan menciptakan
kondisi kepastian usaha yaitu dengan diwujudkannya perlindungan hukum serta
undang-undang persaingan yang sehat
Penulis
berharap semoga keberadaan karya tulis ini dapat diterima sebagai salah satu
kajian sederhana tentang perlunya kita memahami Pancasila dan melaksanakannya
secara murni dan konsekuen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar